Breaking News
Loading...
Senin, 08 Februari 2010

Lima Tahun Lagi, Harimau Sumatra di Riau bisa Punah

Habitat yang semakin mengecil serta perburuan menjadi ancaman paling utama populasi harimau Sumatra (panthera tigris sumatrae) di Provinsi Riau. Berbagai ancaman itu akan membuat satwa berbulu loreng tersebut hilang di Bumi Lancang Kuning paling cepat lima tahun ke depan.

Koordinator Monitoring Perdagangan Satwa World Wide Fund (WWF) Riau, Osmantri, di Pekanbaru, Minggu, (7/2) mengatakan ekosistem harimau di Riau saat ini sudah sangat kritis, banyak yang berubah fungsi menjadi perkebunan, Hutan Tanaman Industri (HTI) dan permukiman.

"Perubahan fungsi lahan tersebut membuat hampir 80 persen populasi harimau berkembang di luar kawasan habitatnya. Jika sudah begitu, konflik dengan manusiapun tak bisa dihindari. Satwa ini pun menjadi sulit untuk berkembang biak," tutur Osmantri.
Berbagai ancaman depopuliasi tersebut tidak sebanding dengan kemampuan satwa yang masuk dalam appendiks 1 katogeri terancam tersebut menjadi sangat sulit untuk berkembang biak.

Seekor harimau betina, lanjut Osmantri diperkirakan hanya mampu bertahan hidup di alam bebas hingga usia 15 tahun. Dalam rentang tersebut, setiap induk betina hanya mampu melahirkan tiga kali.

"Seperti halnya kucing, seekor induk betina bisa melahirkan empat sampai lima ekor anak. Namun, biasanya hanya dua ekor saja yang mampu bertahan hidup di alam liar hingga dewasa," jelasnya.

Data hasil penelitian WWF Riau, jumlah harimau yang berhasil diidentifikasi berdasarkan belangnya tinggal 30 ekor saja atau sekitar 10 persen dari 300 ekor jumlah perkiraan populasi satwa liar tersebut di Pulau Sumatera. Padahal, 32 tahun yang lalu, populasi harimau di pulau Sumatra diperkirakan masih sekitar 1000 ekor. Pada 1985, harimau sumatra masih nyaman berkembang biar di habitatnya masing-masing. Namun sejak kelapa sawit dan industri bubur kertas menjadi komiditi yang bernilai ekonomis tinggi, habitat harimau pun porakporanda.

Aktifitas perburuan harimau pun sulit dicegah ketika penegakan hukum terhadap para pelakunya masih lemah. Sejak 1998 hingga 2009, terdata 46 ekor harimau ditemukan mati akibat konflik dengan manusia dan perburuan. Dengan kata lain, sekitar tujuh ekor harimau mati di Riau setiap tahun.

Dari puluhan kasus tersebut, hanya tiga di antaranya saja yang berlanjut hingga di meja pengadilan yakni pada 2001, 2004 dan 2009.

"Namun demikian, pengadilan belum memberi efek jera karena vonisnya cuma penjara selama setahun untuk semua pelaku tersebut," katanya.

Tentu saja ini masih membuka peluang bagi para pelaku lainnya untuk berburu harimau Sumatra. Para pemburu ini biasanya menggunakan jaringan antarprovinsi yang terjalin sangat rapi dan sulit dilacak. Jaringan perdagangan itu kerap dilindungi oleh oknum pemerintah hingga pemodal besar yang bermuara ke Singapura dan Malaysia.

Pihaknya memperkirakan setidaknya ada 24 pemburu harimau aktif yang menyalurkan hasil buruan ke 34 penampung dari yang kecil hingga penampung besar di Sungapura dan Malaysia.

Di Pekanbaru, ujarnya mencontohkan, sedikitnya ada sembilan toko emas dan dua toko obat cina yang menjual bagian tubuh harimau dengan leluasa.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer
Obrolan