Breaking News
Loading...
Sabtu, 20 Februari 2010

Menag Klaim Draf RUU Nikah Siri Ilegal

Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang memicu kontroversi ternyata ilegal.

Menteri Agama Suryadharma Ali menegaskan, pemerintah secara resmi belum mengeluarkan dan menandatangani draf RUU yang mengatur pidana nikah siri tersebut. Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menjelaskan, draf RUU tersebut belum masuk program legislasi nasional (prolegnas) tapi masih dalam bentuk draf yang belum diajukan presiden ke DPR. “Belum ada.

Pemerintah belum keluarkan RUU yang akan pidanakan nikah siri. Kalaupun sudah ada yang beredar, itu ilegal. Yang jelas,saya belum pernah tandatangani draf itu,” ujar Suryadharma dalam jumpa pers di Kantor Kementerian Agama, Jakarta, kemarin. Penegasan Menag ini tentu bertolak belakang dengan pernyataan sebelumnya yang mengatakan bahwa RUU tersebut segera diserahkan ke DPR untuk dibahas.

Bahkan, dalam seminar Evaluasi Penyelenggaraan Haji 2009 di Hotel Millennium, Jakarta, beberapa pekan lalu dan saat mengikuti kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke LP Anak Tangerang, Selasa (16/2) lalu, Suryadharma mengatakan jika draf RUU itu sudah masuk ke badan legislasi DPR.

Harian Seputar Indonesia pun sudah mendapatkan draf RUU tersebut. Wacana kontroversial termuat dalam Pasal 143 yang menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah akan dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp6 juta hingga Rp12 juta.

Selain nikah siri,draf RUU juga mengatur kawin mutah atau kawin kontrak.Pasal 144 menjelaskan,setiap orang yang melakukan perkawinan mutah dihukum penjara selama lamanya tiga tahun dan perkawinannya batal karena hukum. RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antar-dua orang yang berbeda kewarganegaraan).

Pasal 142 Ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp500 juta. Draf RUU yang sudah terlanjur beredar di masyarakat mendapat perhatian serius dari kalangan masyarakat. Sejumlah tokoh dan kalangan yang mendukung berpendapat, pemidanaan nikah siri dibutuhkan untuk melindungi perempuan dan anak keturunannya.

Lebih ekstrem, pengaturan dan pemidanaan dibutuhkan karena nikah siri dikhawatirkan sebagai praktik untuk melegalkan perzinaan. Sebaliknya, kalangan tak sependapat tidak kalah derasnya. Malahan dua ormas terbesar di Tanah Air, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, sudah tegas menyatakan penolakannya.

Mereka menolak pemidanaan nikah siri karena bisa memicu maraknya praktik zina dan kumpul kebo karena tidak bisa dijerat hukum.Dalam pandangan mereka, negara cukup mengatur nikah siri dari sisi kewajiban administratif dan sanksi administratif. Selain menimbulkan pro-kontra di masyarakat, wacana nikah siri mendapat perhatian dari kalangan pemerintah.

Menkum HAM Patrialis Akbar misalnya, menyatakan dukungannya terhadap pengaturan nikah siri agar ada kepastian hukum dalam pernikahan dan kepastian hukum anakanak mereka. Bahkan,kemarin Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PP dan PA) Linda Amelia Sari Agum Gumelar mengungkapkan kekecewaannya karena tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU tersebut.

Alasannya, sejumlah pasal yang dibahas dalam RUU itu menyangkut kepentingan perempuan dan anak. “Dalam Penyusunan (RUU) ini kami kan tidak ikut dalam pokjanya. Padahal, sangat banyak halhal yang menyangkut masalah perempuan dan anak, kan kita ahlinya untuk masalah ini.Kepada pak Menteri (Agama) saya sudah sampaikan agar pada pembicaraan ini Kementerian PP dan PA agar diikutkan.,” tuturnya di Depok,Jawa Barat,kemarin.

Terkait pro-kontra tersebut, Suryadharma berharap semua polemik yang terlanjur berkembang dihentikan. “Itu kan baru wacana saja.Saya menduga,ancaman pidana itu hanya perdebatan di luar. Jadi, kita tak perlu membuangbuang energi untuk berpolemik soal ini. Sudahlah, tidak usah diperdebatkan karena barangnya saja nggakada,”ujar Suryadharma.

Penegasan sama disampaikan Sekjen Kementerian Agama Bahrul Hayat.Menurut dia,RUU yang isinya membahas pidana nikah siri belum disampaikan ke legislatif. ‘’Terus terang saya heran,RUU belum diserahkan ke DPR tapi sudah muncul polemik. Jadi, alangkah baiknya kalau polemik ini dihentikan,” kata Bahrul. Sementara Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Nasaruddin Umar membantah jika draf RUU yang sudah beredar dan menimbulkan polemik berasal dari inisiatifnya.

Dia berjanji akan mengecek draf resmi RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan ke Biro Hukum Kemenag. “Meskipun saya pakar gender tapi bukan berasal dari saya RUU itu. Saya baru tiga tahun jadi Dirjen Bimas Islam.Memang saya dengar sudah soal RUU yang akan mengatur nikah siri,”katanya.

Guru Besar Fakultas Hukum danSyariahUniversitasIslamNegeri Syarif Hidayatullah Jakarta Abdul Gani Abdullah berharap,berbagai pendapat menyikapi pengaturan nikah siri bisa menjadi bahan diskusi draf RUU,termasuk sebagai pertimbangan untuk perbaikan.

Ada Kebutuhan Pengaturan

Suryadharma mengakui, kalau secara pribadi, kawin siri adalah sah karena syarat dan hukumnya terpenuhi.Menurutnya,dalam terminologi fikih, tidak ada istilah kawin siri.Kawin siri ini merupakan pernikahan yang tidak dicatat oleh negara saja.“Harus dicatat, ini hanya pendapat pribadi saya.

Bukan pendapat atas nama Menteri Agama,” tegas Suryadharma. Mantan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) ini melihat,saat ini ada kebutuhan untuk mengatur masalah nikah siri, poligami, kawin kontrak, dan sebagainya dalam suatu undangundang. Hanya bentuknya seperti apa dan kapan, perlu ada RUU yang harus dibahas melalui kajian akademis dan masukan dari berbagai pihak.

Ditegaskan, Indonesia merupakan negara hukum dan setiap pengaturan hak dan kewajiban negara termasuk pembatasanpembatasan hak warga negara harus berdasarkan atas hukum dan harus ditetapkan dengan UU. Lebih jauh dia mengungkapkan, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi hukum dalam memutus sengketa umat Islam,termasuk dalam hal perkawinan, belum sesuai dengan UUD 1945 karena didasarkan kepada Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991.

Dijelaskan, KHI terdiri dari tiga buku yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan. Buku III tentang Hukum Perwakafan telah ditingkatkan menjadi UU No 41 tentang Wakaf. Sementara Buku I tentang Hukum Perkawinan dan Buku II tentang Hukum Kewarisan masih belum ditetapkan dengan UU.

Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan menyatakan, berdasarkan pengalaman dan teori, pemidanaan terhadap kesalahan tidak otomatis menyelesaikan persoalan. Karena itu, kecenderungan yang berkembang di dunia saat ini adalah mengurangi pemidanaan.

Dalam pandangannya, dalam membuat UU tidak serta-merta memunculkan pasal untuk memenjarakan pihak yang melanggar UU. Hendaknya dipikir lebih dalam tentang ketentuan pemidanaan. Prinsip itu juga berlaku pada RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan. Guru besar Tata Negara Universitas Padjadjaran ini mengingatkan bahwa pemidanaan tidak mengurangi adanya kejahatan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer
Obrolan