Breaking News
Loading...
Rabu, 17 Februari 2010

Jika Negara Superpower Amerika Serikat runtuh, apakah umat Islam bisa serta-merta menggantikannya?

Kami tidak mengetahui mengapa tema tentang Amerika Serikat dan nasibnya ke depan sebagai pemimpin peradaban (bisa juga dibaca sebagai: polisi dunia) menjadi begitu menarik dibicarakan, khususnya dalam tiga bulan terakhir ini. Beberapa artikel yang dimuat dalam media-media ternama membahas tentang prospek kejatuhan dan keruntuhan Amerika Serikat sebagai sebuah superpower. Ada artikel yang menegasikan kemungkinan ini, tapi beberapa artikel lainnya memberikan afirmasi terhadap prospek keruntuhan Amerika Serikat. Sejarah tentunya tidak hanya berbicara tentang masa lalu, tetapi juga memahami masa lalu untuk ’membaca’ kemungkinan kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk mengangkat tema ini pada kesempatan kali ini.

Kita mengetahui bahwa Amerika Serikat mulai tampil sebagai kekuatan yang dominan di dunia sejak awal abad kedua puluh. Kedudukannya semakin kokoh menggantikan posisi Inggris dan Eropa secara umum setelah pecahnya Perang Dunia Pertama. Namun pasca Perang Dunia Kedua, kedigdayaan Amerika Serikat mendapat tantangan serius dari kekuatan komunis dunia yang dipimpin oleh Uni Soviet. Kemudian, selama beberapa dekade dunia terbelah ke dalam dua blok besar: Kapitalis dan Komunis. Periode ini kita kenal sebagai masa Perang Dingin. Namun, komunisme di Soviet akhirnya runtuh satu dekade menjelang berakhirnya abad kedua puluh. Sejak itu, Amerika Serikat tampil sebagai satu-satunya superpower. Negara-negara kecil terpaksa menurut pada tekanan Amerika jika tidak ingin menerima nasib buruk seperti segelintir negara yang berani menantang.

Apakah ini merupakan the end of history seperti dikatakan Fukuyama? Keadaan ketika kapitalisme menjadi ideologi terakhir yang tak memungkinkan lagi terjadinya perubahan?. Akankah Amerika Serikat terus memimpin dunia, menjadi ’default power,’ meminjam istilah Josef Joffe, tanpa ada negara lain yang bisa menggantikannya memimpin peradaban? Mari kita akan lihat persoalan ini lebih mendalam.

Kepemimpinan Amerika Serikat dalam peradaban dunia sebetulnya merupakan bagian dari mata rantai kepemimpinan masyarakat Barat yang secara umum bisa dibagi dalam tiga periode. Pertama, era kebangkitan pertama peradaban Barat, berlangsung sejak jatuhnya Granada tahun 1492 – walaupun ketika itu peradaban Islam masih cukup kuat diwakili oleh Turki Utsmani, tapi kira-kira setengah abad kemudian Turki mulai mengalami kemerosotan. Pada masa ini peradaban Barat dipimpin oleh Spanyol dan Portugis dengan semangat utama yang bersifat spiritual dan keagamaan (Katolik). Periode kedua, kedudukan Spanyol-Portugis digantikan negeri-negeri Eropa yang berada di Utara (Inggris, Prancis, Belanda) dan bersifat sekuler. Pada periode kedua ini Eropa mencapai puncak kebudayaannya, khususnya pada abad kesembilan belas. Kebudayaan dan seni berkembang pesat, pemikiran dan filsafat (termasuk ideologi) mencapai puncaknya, Ilmu pengetahuan dan rasionalisme mewakili wajah peradaban Barat, kemakmuran juga mengalir ke negeri-negeri mereka.

Periode ketiga, kedudukan Eropa mulai digantikan Amerika Serikat hingga sekarang ini. Walaupun merupakan bagian dari peradaban Barat, tapi karakter yang dimilikinya berbeda. Amerika Serikat merupakan kekuatan yang pragmatis dan lebih menonjol dalam hal militer. Ia tidak berbudaya dan berseni sebagaimana halnya Eropa pada masa keemasannya. Kedudukan Amerika Serikat dibanding Eropa, meminjam kata-kata Max I Dimont dalam Jews, God, and History, seperti kedudukan Romawi kuno dibanding Yunani kuno. Romawi yang kuat secara militer tampak seperti raksasa yang bodoh bagi Yunani yang berseni dan berbudaya. Seperti itulah Amerika Serikat dimata sebagian kalangan di Eropa.

Sementara itu, peradaban Islam pada masa jayanya juga bisa dibagi dalam tiga periode. Karakter pada masing-masing periode tersebut memiliki beberapa kemiripan dengan yang ada pada peradaban Barat, walaupun tentu saja tidak sama persis. Periode pertama yang diwakili Khulafa al-Rashidin merupakan periode yang bersifat spiritual – tetapi spiritualisme dalam sejarah Islam ini memiliki karakter dan pengaruh yang sangat berbeda dengan apa yang terjadi pada peradaban Barat. Periode berikutnya, yang mencapai puncaknya pada zaman Bani Abbasiyyah, merupakan masa berkembangnya kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Buku-buku asing diterjemahkan dan dikembangkan oleh para ilmuwan Muslim.

Kemudian masuklah peradaban Islam pada periode ketiga yang dipimpin oleh Turki Utsmani. Turki Utsmani merupakan peradaban yang bersifat praktis dan kuat secara militer. Namun, setelah mencapai puncaknya pada pertengahan abad keenam belas, ia mulai mengalami penurunan. Posisinya mulai digantikan oleh peradaban Barat. Adakah Amerika Serikat dalam mata rantai peradaban Barat memiliki posisi yang sama dengan Turki Utsmani pada peradaban Islam? Adakah kekuatannya akan mengalami penurunan setelah ini, kemudian menjadi the sick man of the West, dan pada akhirnya mengalami disintegrasi yang serius dan bubar? Hanya sejarah yang bisa menjawab pertanyan ini nantinya.

Berbicara tentang kemungkinan disintegrasi Amerika Serikat, harian Kompas pada 12 Oktober 2009 lalu mengangkat sebuah tulisan berjudul ”Krisis di AS Picu Pemisahan.” Artikel itu menyebutkan protes sebagian masyarakat terhadap krisis ekonomi yang serius di Amerika Serikat dan keinginan mereka untuk memisahkan diri dari federasi. Krisis keuangan di AS telah menyebabkan banyak perusahaan besar runtuh dan banyak warga kehilangan pekerjaan. Sikap pemerintah pusat yang lebih berpihak pada perusahaan-perusahaan besar serta keputusan mereka untuk terus membiayai perang di Afghanistan dianggap oleh sebagian warga sebagai hal yang tidak bertanggung jawab. Mereka merasa kebijakan pemerintah AS sedang menggiring negara itu pada kehancuran. ”Emporium itu (AS, pen.) sedang ambruk,” kata Thomas Naylor, profesor ekonomi yang sudah pensiun dan kini memimpin gerakan Republik Vermont kedua. ”Apakah Anda ingin turut serta ambruk bersama Titanic atau mencari jalan alternatif selagi kesempatan masih ada?”

Kirkpatrick Sale, pemimpin sebuah lembaga studi yang mendalami isu separatisme, juga mengakui bahwa keinginan memisahkan diri dari pemerintah pusat serta aksi pembangkangan terhadap peraturan pusat pada waktu-waktu belakangan ini lebih serius dibandingkan pada tahun 1865. Isu pemisahan memang sedang bergema, redaktur pelaksana Fort Worth Star-Telegram, JR Labbe, menyatakan hal yang senada. Walaupun hal ini ditolak oleh Lyn Spillman, namun pihak yang mendukung separatisme yakin bahwa pemisahan diri merupakan pilihan terbaik yang perlu diambil oleh negara-negara bagian agar mereka tidak ikut runtuh bersama pemerintah pusat. Dikatakan bahwa setidaknya ada sepuluh negara bagian yang memiliki kecenderungan semacam ini.

2 komentar:

  1. FYI,

    Buku Max I. Dimont lainya (The Indestructible Jews) sudah diterjemahkan dan diterbitkan dengan judul: "Dilema Yahudi, atau Suratan Nasib?"

    Bisa diperoleh di Gramedia Pondok Indah Mall atau Gramedia Matraman, Jakarta.

    BalasHapus

 
Toggle Footer
Obrolan