Ada yang unik melihat proses persiapan pemilihan walikota dan wakil walikota Medan. Hingga saat ini, tercatat ada enam pasangan calon walikota dan wakil walikota dari jalur independen yang sudah mendaftarkan diri ke KPU Kota Medan.
Itu belum termasuk calon yang akan diusung oleh partai politik.
Sekiranya empat partai politik atau gabungan partai politik yang mengajukan pasangan calonnya untuk bertarung dalam pilkada Kota Medan, maka akan ada sepuluh pasangan calon yang kemungkinan akan bertarung dalam perebutan kursi sebagai orang nomor satu di kota ketiga terbesar di Indonesia ini.
Memang kesepuluh pasangan calon tersebut masih harus menjalani proses verifikasi yang akan diadakan oleh KPU untuk menetapkan pasangan mana saja yang layak ikut pertarungan. Perlu diingat, diluar yang sepuluh tersebut, masih banyak kandidat yang sebenarnya ingin ikut bertarung namun apa daya mereka tidak punya "kenderaan politik".
Timbul pertanyaan dalam hati, apa yang membuat begitu banyak pasangan calon yang ingin memperebutkan kursi tersebut? Seberapa "sexi"-kah Kota Medan sehingga begitu banyak orang yang berlomba-lomba untuk menjadi "penguasa" di kota ini?
Sekilas, tidak ada yang aneh dengan "perlombaan" tersebut. Itu wajar-wajar saja. Dimana-mana, kursi kekuasaan itu memang selalu menjadi rebutan. Tentu saja tak ada orang yang merasa dirinya sudah "layak", mau melewatkan kesempatan yang sekali lima tahunan itu. Namun yang membuatnya mengundang tanya adalah selain karena jumlah seperti yang sudah disebutkan di atas, juga kalau kita melihat figur-figur yang akan bertarung di pentas pilkada tersebut.
Hangatnya pembahasan pilkada Kota Medan baik melalui media massa dan elektronik lokal hingga warung-warung kopi, orang-orang bertanya mengapa para calon tersebut mau meninggalkan profesi sebelumnya bahkan ada yang seperti "turun kasta" demi memperebutkan kursi walikota dan wakil walikota Medan. Misalnya, Bahdin Nur Tanjung yang merupakan akademisi yang sebelumnya pernah mencalonkan diri sebagai anggota DPD-RI dimana dalam perjalanan pencalonannya tersebut kemudian mengundurkan diri dengan alasan hendak membesarkan UMSU –kampus yang dipimpinnya. Namun, mengapa setelah pilkada Kota Medan, beliau malah ikut?
Kemudian, Rudolf Pardede yang sudah pernah menjadi Gubernur Sumut dan kini masih menjabat sebagai anggota DPD-RI periode 2009-2014. Orangpun bertanya-tanya, apalagi yang mendorong beliau sehingga masih mau menjadi Walikota Medan. Atau, Prof M Arif Nasution yang juga akademisi dan sedang menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum USU. Serta balon yang hingga kini masih menimbulkan pro-kontra yaitu, Rahudman Harahap yang baru beberapa bulan menjabat Pj. Walikota Medan. Dan Dzulmi Eldin yang juga baru beberapa bulan menjabat Sekda Kota Medan.
Rahudman dan Eldin yang telah mengundurkan diri dari jabatan barunya demi bisa ikut bertarung dalam pilkada Medan. Dan calon-calon lain yang tak perlu disebutkan satu persatu.
Sekali lagi, sekilas tidak ada yang salah dengan keinginan mereka tersebut maju sebagai calon walikota atau calon wakil walikota. Sebab itu adalah hak setiap warga Negara, sepanjang mereka tidak melanggar undang-undang. Akan tetap tidak bisa dipungkiri, pencalonan diri mereka tersebut masih mengundang tanya.
Sexi-nya Kota Medan.
Berbicara tentang kota Medan, tentu saja harus berbicara tentang keadaan dan perkembangan kota Medan khsususnya tentang pertumbuhan ekonominya dalam kurun lima tahun terakhir.
Medan (Sumut) sering disebut-sebut sebagai miniatur Indonesia. Bahkan ada yang bilang, kalau sudah berhasil memimpin Medan (Sumut) maka akan layak berkiprah di kancah nasional. Hal ini tentu saja memberikan gengsi tersendiri bagi setiap orang yang mampu memenangkan kursi Walikota dan Wakil walikota Medan.
Disamping itu, sebagai kota ketiga terbesar dan sebagai ibukota Propinsi, harus diakui bahwa Medan merupakan salah satu barometer pertumbuhan ekonomi nasional terutama pertumbuhan ekonomi di Propinsi Sumut.
Medan menunjukkan tingkat elastisitas yang tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi propinsi, artinya jika pertumbuhan ekonomi Sumut positif, maka pertumbuhan ekonomi Kota Medan menunjukkan angka positif yang lebih besar dari pertumbuhan ekonomi propinsinya. Ini menjadi bukti bahwa Kota Medan masih merupakan mesin pembangunan bagi daerah kota dan kabupaten lainnya di Sumatera Utara.
Untuk menjalankan roda perekonomiannya, Pemerintah Kota Medan memiliki beberapa sumber pendapatan pokok, yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan lain- lain penerimaan yang sah.
Untuk tahun 2010, Pemerintah Kota Medan memproyeksikan Pendapatan daerah sebesar Rp 2 trilyun atau meningkat 6,07% dibandingkan dengan tahun 2009. Proyeksi struktur pendapatan daerah yang dirumuskan tersebut, bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar 24,23% dan pendapatan daerah lainnya, terutama dari dana perimbangan sebesar 75,77%.
Sumber pendapatan asli daerah sebagian besar diperoleh dari hasil pajak dan retribusi daerah. Pada tahun 2008, PAD Kota Medan dari sektor pajak mampu mencapai Rp320 miliar. peningkatan PAD dari sektor pajak ini dimulai dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), penambahan titik pajak parkir dan pajak restoran serta rumah makan.
Disamping itu Kota Medan juga memiliki perusahaan daerah seperti PDAM, PD Pasar. Serta beberapa Kawasan Industri, seperti Kawasan Industri Medan (KIM), Kawasan Industri Baru (KIB), serta Perkampungan Usaha Kecil (PIK).
Sayangnya, walaupun ada kecenderungan peningkatan volume dalam PAD, namun seperti yang disebutkan diatas 75,77% sumber penerimaan Kota Medan di sektor publik masih berasal dari alokasi pusat (dana perimbangan/dana alokasi umum).
Sebagian besar program pembangunan yang disediakan oleh pemerintah pusat dialokasikan dalam bentuk bantuan spesifik (specific blok grant), dan blok grant yang lansung diterima dan dikelola oleh daerah.
Selain yang disebutkan di atas, tentu saja banyak faktor lain yang membuat Kota Medan benar-benar "sexi" khususnya di mata para kandidat yang akan bertarung dalam pilkada kota Medan.
Terlepas, apakah motivasi mereka benar-benar ingin membangun kota Medan dan ingin mensejahterkan warganya atau malah ingin "mengolah" semua potensi yang ada untuk kepentingan tertentu, adalah tugas kita untuk mengawal supaya mereka senantiasa menjadi pemimpin yang melayani rakyat.
Apa yang Harus Kita Lakukan?
Mari belajar dari pengalaman masa lalu, Walikota Medan dan Wakilnya, Abdillah dan Ramli, ditangkap karena kasus korupsi. Itu artinya, dana-dana yang dikelola pemerintah daerah sangat rawan untuk dikorupsi.
Awalnya mereka mengatakan, akan mensejahterakan rakyat kalau menang menjadi Walikota dan Wakil Walikota. Namun kenyataannya, mereka malah menjarah uang rakyat dan harus menginap di "hotel prodeo" karena korupsi.
Kita sebagai pemilih-lah yang akan menentukan siapa yang lebih tepat memimpin Medan ini dalam lima tahun mendatang. Maka tidak ada pilihan lain, kita harus mengenali calon dan tidak tergiur oleh iming-iming uang yang akan dibagi-bagikan dalam rangka memuluskan jalan menuju kekuasaan tersebut.
Apakah kita akan memilih mereka yang "royal" pada saat kampanye, padahal akhirnya akan berakhir seperti Abdillah dan Ramli? Atau memilih yang "manis di mulut, lain di hati?" Atau, maukah kita memilh pasangan yang lebih bersih, meskipun kita tidak "mendapat" apa-apa pada awalnya demi kemajuan Kota Medan dan kesejahteraan rakyatnya? Semuanya ada di tangan kita!
bner nch....
BalasHapus