Breaking News
Loading...
Jumat, 12 Maret 2010

Peninggalan Dieng yang Masih Tersisa

Dieng merupakan sebuah dataran tinggi yang terletak di Provinsi Jawa Tengah. Dalam Bahasa Jawa, Dieng itu terdiri dari kata adi dan aeng. Adi berarti bagus dan mempesona sedangkan  aeng artinya aneh. Menurut Bahasa Sangsekerta, terdiri dari kata ardi dan hiang yang diartikan sebagai gunung dan khayangan. Dataran tinggi ini berada di 2000m di atas permukaan laut dengan suhu rata-rata 10oC-15oC. Dataran ini terbentuk oleh kawah gunung berapi yang telah mati.

Di Dieng dapat ditemukan berbagai macam tempat wisata menarik yang merupakan peninggalan atau warisan budaya nenek moyang. Seperti Candi Arjuna yang dikatakan sebagai Candi Enteng Jodoh. Candi ini dibangun pada tahun 809. Disebut sebagai  Candi Enteng Jodoh karena bila masuk ke candi ini dan mendapatkan tetesan air yang ada di atas dinding candi, maka akan mudah mendapatkan jodoh. Air suci ini juga dipercaya bisa memberikan keturunan kepada suami istri yang belum di karuniai buah hati. Sebelum membahas lebih lanjut, tahukah mengapa candi-candi ini dibangun di Dieng, bukan di Wonosobo? Karena, menurut kepercayaan orang-orang hindu, semakin tinggi tempat dibangunnya candi tersebut, maka akan semakin dekat dengan surga.

Beralih dari Candi Arjuna terdapat beberapa candi lainnya yang tidak kalah menarik yaitu Candi Srikandi yang terdapat relief Dewa Wisnu, Dewa Siwa, dan Dewa Brahma. Dalam Agama Hindu, Dewa Wisnu disebut sebagai dewa pemelihara dunia atau dalam bahasa inggrisnya THE KEEPER OF THE UNIVERSE. Dewa Siwa atau dewa perusak disebut THE DESTROYER OF THE WORLD dan Dewa Brahma atau dewa pencipta dunia dikenal sebagai THE CREATOR OF THE WORLD. Menurut cerita, Dewa Siwa memiliki kendaraan yang dinamakan dengan Nande. Nande itu adalah kerbau. Oleh karena itu, orang-orang beragama Hindu menganggap kerbau sebagai hewan keramat dan tidak diperbolehkan untuk dimakan.

Tidak hanya Candi Srikandi, ada juga kelompok Candi Pendawa, Candi Gatotkaca, Candi Bima dan Candi Dwarawati atau Parikesit. Dahulu, candi-candi yang ada di sini berjumlah sekitar 40 candi, namun seiring dengan berjalannya waktu, candi-candi ini menjadi hancur sehingga sampai saat ini hanya tersisa 8 candi yang masih bisa dibilang bagus.

Candi-candi yang ada di Dieng mempunyai bentuk yang kurang lebih hampir sama. Tetapi, beberapa candi yang memiliki tangga dan ada yang tidak. Candi yang memiliki tangga tersebut menggambarkan lidah yang menjulur. Menurut filosofi Orang Hindu, bilamana ingin mendapatkan surga, maka harus menjaga lidah dengan baik.

Tidak hanya candi saja yang dapat dijadikan sebagai tempat wisata, sebuah tempat yang selalu menjadi idaman para wisatawan adalah Kawah Sikidang. Kawah tersebut  dikenal dengan sebutan Kawah Sikidang lantaran kawah ini suka berpindah-pindah tempat bagaikan kijang. Kawah ini di kelilingi lereng dan mengandung larva. Air yang ada di kawah sangatlah panas. Suhunya sekitar 60o C-120o C. Kawah ini awalnya kecil, tapi lama-kelamaan kawah ini menjadi semakin luas diiringi waktu yang berjalan cepat.

Sekitar Kawah Sikidang, terdapat anak-anak penduduk setempat dengan rambut yang ditumbuhi rambut gembel. Menurut cerita, rambut gembel ada yang dianggap sebagai pembawa berkah dan bisa juga menjadi pembawa kesialan. Rambut-rambut gembel tersebut bisa dipotong agar kesialan yang ada di anak-anak tersebut hilang. Tetapi ada syarat yang harus di lakukan sebelum memotong rambut gembel tersebu. Syaratnya ialah permintaaan apapun yang diinginkan anak-anak tersebut harus dikabulkan. Hal itu harus juga disertai dengan semacam upacara pada saat pemotongan rambut. Upacara yang biasa dilakukan  tersebut dinamakan upacara meruwat rambut gembel. Dalam melaksanakan pemotongan rambut-rambut anak gembel tersebut, disediakan tiga macam tumpeng sebagai unsur sesajian.

Sebelum menjadi dataran, area di Dieng merupakan danau besar. Tetapi, yang tertinggal sekarang hanya berupa telaga. Salah satu yang paling diminati adalah Telaga Warna Dieng. Konon, telaga ini digunakan oleh dewi-dewi atau peri-peri dari khayangan untuk membersihkan tubuh mereka. Telaga warna ini juga dipercaya memiliki sebuah legenda tentang selendang Dewi Nalang Wulan yang hilang karena dicuri Jaka Tarub.

Karena di pegunungan ditanami kentang, ketika hujan deras, ada lumpur yang masuk ke telaga sehingga warna telaga yang pada awalnya cemerlang menjadi warna hijau dan biru. Dulunya, dasar telaga pernah dieksploitasi karena memiliki kristal di dasarnya, tetapi kini sudah habis karena dieksploitasi. Di dasar telaga masih terdapat kawah yang muncul dengan bentuk gelembung-gelembung.

Telaga Warna mengandung aneka bahan mineral yang apabila terkena sinar matahari akan memantulkan cahaya warna-warni seperti merah, putih, atau lembayung. Karena cahaya itulah, telaga ini dinamakan Telaga Warna.

Meskipun telaga ini tidak bisa ditinggali oleh ikan-ikan, tetapi sering banyak dikunjungi oleh burung belibis.
Tidak hanya Telaga Warna, bila ditelusuri lebih dalam, dapat juga dijumpai Telaga Pengilon. Pada dahulunya, air di Telaga Pengilon sangat jernih sehingga dapat digunakan untuk bercermin. Sekarang, telaga tersebut sudah keruh dan berwarna coklat.

Warisan zaman dahulu kala ini perlahan hancur akibat tangan manusia yang jahil. Karena perbuatan manusia yang tidak bertanggungjawablah, menyebabkan keindahan alam yang ada di Dieng maupun di seluruh Indonesia menjadi rusak. Maka dari itu, marilah kita semua bersama-sama menjaga dan merawat harta peninggalan sejarah yang berharga ini. (Ditulis Siswa Chandra Kusuma, Kelompok 3 : Debbie, Velinsia, Vincent Otto, Mellifika, Outasya, Andy Gunawan, Hendrik Salim, Chandra Natalie)

1 komentar:

 
Toggle Footer
Obrolan