KUSNO S UTOMO, Jogja
PEMPROV DIJ bukannya tak berdiam diri. Berbagai cara sudah ditempuh untuk mewujudkan mimpi tersebut. Salah satunya dengan mengajukan tambahan untuk Dinas Kebudayaan Provinsi DIJ.
’’Padahal tanpa dukungan dana, program itu hanya akan menjadi mimpi belaka,’’ keluh Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DIJ Djoko Dwiyanto saat berbicara dalam Forum Diskusi Wartawan di Gedung DPRD DIJ kemarin (28/7).
Djoko mengatakan, program itu bakal direalisasikan pada 2025. Untuk mengimplementasikan visi dan obsesi itu kebutuhan anggaran tak dapat dielakkan. Secara bertahap ia ingin ada peningkatan anggaran bagi instansinya. ’’Tambahan anggaran itu idealnya harus dimulai pada 2010,’’ lanjut pria yang sedang merampungkan menulis buku Puro Pakualaman ini.
Program itu dilanjutkan lagi pada 2015, 2020, dan 2025. ’’Setiap lima tahun kita evaluasi,’’ tutur dosen FIB UGM yang dilantik menjadi kepala dinas pada Januari silam.
Djoko merancang, pada 2010, instansinya mendapatkan kucuran anggaran dua kali lipat dibandingkan 2009. Bila tahun ini mendapatkan dana Rp 28 miliar, tahun depan meningkat menjadi Rp 57 miliar.
Tentang pentingnya dukungan anggaran itu sempat ditulis Djoko dalam makalahnya. Ia mengutip laporan rapat kerja Komisi D DPRD DIJ pada (2/7) lalu. Isinya, agar 2010, anggaran Dinas Kebudayaan diberikan porsi yang cukup mengingat visi misi pemprov ingin menjadi Pusat Pendidikan dan Kebudayaan Terkemuka di Asia Tenggara.
Tapi, selama lima tahun terakhir Komisi D melihat tak ada komitmen yang kuat dari pemprov merealisasinya. ’’Dukungan dari eksekutif dan legislatif sangat diperlukan. Jangan sampai bertepuk sebelah tangan,’’ sindirnya.
Dikatakan, bila dukungan dana itu tak direalisasikan, Djoko menyarankan visi dan obsesi pemprov itu sebaiknya ditinjau ulang. Impian menjadikan pusat pendidikan dan kebudayaan terkemuka itu dikubur dalam-dalam.
Diskusi itu juga menampilkan Ketua Dewan Kebudayaan DIJ Yuwono Sri Suwito. Ia lebih banyak memaparkan potret buram upaya penyelamatan benda cagar budaya di Jogja. Saat ini budaya melestarikan benda cagar budaya seperti rumah dan bangunan-bangun tempo itu cenderung minim.
Salah satu contohnya rumah arsitektur China yang semula bertebaran di Jogja sekarang tinggal dalam hitungan jari. Satu-satunya bangunan yang masih utuh ada di Jalan KH Ahmad Dahlan. ’’Bangunan lain sudah banyak dirobohkan tinggal menjadi kenangan,’’ sesalnya.
Wakil Ketua Komisi D DPRD DIJ Erwin Nizar mengatakan, sejak awal dewan punya komitmen kuat melestarikan benda cagar budaya. Terbukti pada 2005, diluncurkan Perda Kawasan Cagar Budaya dan Benda Cagar Budaya (KCB-BCB). Sayang, implementasi penyelamatan KCB dan BCB itu terkendala lambatnya pemprov membuat aturan pelaksana berupa peraturan gubernur (pergub).
’’Kalau bicara anggaran, kami juga sangat concern. Berapa pun anggaran dibutuhkan. Jangankan Rp 57 miliar, Rp 100 miliar bila rasional, pasti kami setujui,’’ tandasnya.
Kenyataan di lapangan berbicara lain. Pengajuan anggaran Dinas Kebudayaan kerap dipangkas di internal pemprov. Komisi D kerap menaikkan volume anggaran lebih besar dari rekomendasi TAPD. ’’Komitmen dan dukungan nyata dari internal TAPD itu sangat diperlukan,’’ ingatnya. ***
0 komentar:
Posting Komentar