Gerakan Independensi Amerika Latin thd AS & Neoliberalisme Global
Beberapa waktu lalu beberapa pejabat dan pengamat menyampaikan kekhawatiran tentang kemungkinan terulangnya kembali krisis ekonomi di Indonesia, dengan melihat indikasi-indikasi ekonomi dan finansial yang bermiripan dengan yang terlihat menjelang Krisis Asia 1997-1998. Sembilan tahun silam, di tengah mayoritas peserta yang tersihir oleh neoliberal mainstream yang mendominasi pentas media massa, dalam sebuah diskusi di Tokyo saya menyatakan bahwa Krisis Asia sampai batas tertentu merupakan pembuktian dari ”nubuwwat” teori dependensi (dependency theory), yang intinya menyatakan bahwa posisi negara-negara kapitalis pinggiran (peripheral countries) sangat lemah dan rentan (fragile), sehingga sewaktu-waktu dapat diruntuhkan oleh dinamika dan fluktuasi dalam sistem kapitalisme global. Kerentanan itu terutama disebabkan oleh ketergantungan finansial yang secara ekstrem dimiliki negara-negara tersebut terhadap para pemilik modal di negara-negara maju. Dalam ungkapan Robert Packingham, “The more a nation’s economy is penetrated by loans, investment, aid, and reliance on external trade, the more dependent the nation is” (Packingham, 1998:137).
Teori yang menjadi arus utama dalam ilmu sosial dekade 1970-an ini jelas bukan tanpa kelemahan. Teori ini juga tidak dapat melepaskan diri dari konteks Perang Dingin global pada saat kemunculannya. Solusi radikal yang ditawarkannya adalah revolusi dan perombakan struktur ekonomi secara holistik, sehingga hilanglah anasir-anasir neo-kolonialisme. Direkomendasikan juga pemutusan mata rantai ekonomi domestik terhadap sistem kapitalisme global, sehingga model pembangunan yang dipilih cenderung inward oriented. Popularitas teori ini menurun seiring dengan bangkitnya neoliberalisme dan kemenangan AS/liberalisme dalam konstelasi politik global di akhir 1980-an. Negara-negara komunis di Eropa Timur justru ambruk di penghujung 1980-an karena pemerintahnya yang terlalu tertutup dan secara ekstrem mengabaikan mekanisme pasar. Di sisi lain, dekade ini menyaksikan kemunculan negara-negara Asia Timur seperti Korsel, Singapure dan Taiwan yang mampu melakukan percepatan pembangunan ekonomi dengan strategi industrialisasi berorientasi keluar (outward oriented industry), dengan penguatan ekonomi domestik yang disertai pemanfaatan peluang-peluang yang ada di pasar global.
Tulisan ini akan mencoba melihat gerakan politik anti-neoliberalisme di Amerika Latin akhir-akhir ini dengan meletakkannya dalam sebuah lanskap ekonomi politik internasional kontemporer.
Dari ”Independensi Nasional” Menuju ”Independensi Regional”
Pada tanggal 30 April 2007 Presiden Hugo Chavez mengumumkan rencananya untuk secara formal menarik keanggotaan Venezuela dari Bank Dunia dan IMF. Langkah itu diambil sebagai tindakan high profile yang menandai kepemimpinan Chavez yang makin faktual dalam gelombang politik anti neo-liberal di Amerika Latin akhir-akhir ini. Delatan tahun silam, segera setelah berkuasa pada tahun 1999, Chavez telah membayar seluruh utang Venezuela kepada IMF. Belum lama ini Venezuela juga telah melunasi utangnya kepada Bank Dunia lima tahun lebih cepat dari waktu yang dijadwalkan.
Sikap oposisi Chavez kepada dua institusi pilar utama Washington Consensus juga ditunjukkannya dalam pidato depan para pemimpin Gerakan Non Blok September 2006 di Havana, Kuba. Dalam desempatan itu Chavez menyatakan, “
“We don’t accept the kind of development the World Bank and IMF want to push on us to change our hope, our souls and our pain”.
Ketika Argentina membayar sisa utang 9,8 milyar dollar AS kepada IMF pada akhir Desember 2005, Venezuela dengan segera menyuntikkan dana 2,5 milyar dollar AS kepada Argentina. Bantuan ini menyelamatkan Argentina dari terulangnya krisis ekonomi yang besar di tahun 2001. Pada waktu yang hampir bersamaan, Venezuela juga memberikan komitmennya untuk membeli bond Ekuador sebesar 300 juta dollar AS.
Ketika Evo Morales, sekutu dekat Chavez, mencanangkan kebijakan nasionalisasi industri gas di Bolivia, reaksi keras datang dari AS. Pemerintah Bush dengan membatalkan bantuan militer sebesar 1,6 juta dollar As dan bantuan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan perdagangan obat terlarang. Bolivia juga kehilangan dana 170 juta dollar AS karena pembatalan ekspor kedelai ke Kolumbia, setelah Kolumbia membuat kesepakatan dagang dengan AS. Chavez mengambil langkah lugas dengan mengumumkan akan membeli seluruh produk kedelai itu. Venezuela bahkan mengumumkan bantuan dana 100 juta dollar AS kepada Bolivia dan sejumlah bantuan kecil lain untuk mendukung rencana land reform.
Di bawah Chavez, Negara penghasil minyak terbesar di Amerika Latin itu, telah membentuk sebuah lembaga yang disebut Compensatory Fund for Structural Convergence. Lembaga keuangan yang merupakan bagian dari proyek ALBA (The Bolivarian Alternative for Latin America) ini tugasnya mirip dengan Bank Dunia ketika pertama kali didirikan pasca Perang Dunia II: mengelola dan mendistribusikan bantuan keuangan kepada banyak Negara yang ekonominya rentan oleh krisis. Dengan Compensatory Funds ini, Negara-negara miskin dibantu untuk mengurangi risiko kerugian hingga ke tingkat yang tidak membahayakan ekonomi nasionalnya (Pontoh, 2007).
Melalui program Compensatory Funds, Venezuela kini muncul sebagai Negara donor baru di Amerika Latin, menggantikan keberadaan IMF. Akibatnya, dilaporkan bantuan IMF di kawasan itu jatuh sebesar 50 juta dollar AS, atau kurang dari satu persen portfolio global, dibandingkan dengan 80 persen pada tahun 2005. Venezuela kini memiliki cadangan dana sebesar 34 milyar dollar AS. Chavez juga mengontrol 18 milyar dollar AS dana kontan yang ditransfer dari Bank Sentral dan perusahaan minyak Negara Petroleos de Venezuela SA (PDVSA). Bantuan yang dinamakan Solidaritas Bolivarian ini tidak disertai dengan persyaratan apapun yang harus dijalankan oleh Negara penerima bantuan.
Untuk melembagakan program Solidaritas Bolivarian ini, Chavez mengusulkan agar dibentuk Banco der Sur atau Bank Selatan. Menurut Chavez, dalam pidatonya di hadapan ribuan pendukungnya di Bueonos Aires, Argentina, pendirin Branco del Sur ini dimaksudkan untuk menghentikan lingkaran setan kemiskinan dan utang luar negeri. Rencana pendirian Banco del Sur ini disusul dengan usulan agar dibentuk mata uang bersama Amerika Latin, sebagai alternatif bagi lembaga-lembaga keuangan internasional yang dikontrol oleh AS, dengan dominasi mata uang dollar (KAU, 2007).
Jelas bahwa ”faktor Chavez” dan kekayaan minyak Venezuela merupakan faktor yang penting bagi gerakan ”independensi Amerika Latin” terhadap kapitalisme global yang dimotori oleh AS. Tanpa menegasikan penjelasan-penjelasan lain, saya melihat bahwa warisan tradisi teori dependensi ternyata sangat berpengaruh terhadap perspektif dan cara pandang negara di Amerika Latin. Jelas bahwa krisis utang yang dialami oleh Amerika Latin 1980-an dan krisis keuangan sebagai dampak dari Krisis Asia beberapa tahun seakan membenarkan kembali sinyalemen teori dependensi, bahwa integrasi negara-negara pinggiran ke dalam kapitalisme global sangatlah berisiko. Model pembangunan yang tergantung pada modal asing dan utang luar negeri juga sangat lemah menghadapi tekanan ekonomi global.
Dari semula, teoritisi dependensi yang memang mendasarkan diri pada tesis kapitalisme Marx dan imperialisme Lenin telah menyatakan bahwa rezim-rezim otoriter yang muncul di tahun 1960-an dan 1970-an hanyalah bertugas untuk mengamankan jalannya kegiatan akumulasi kapital oleh kalangan borjuis transnasional. Guillermo O’Donnell (1973,1979) misalnya menyatakan bahwa negara-negara birokratik otoritarian di negara-negara pinggiran menggunakan instrumen-instrumen otoritarianisme untuk menekan dan menindas popular sectors, yaitu sektor masyarakat buruh, petani dan pueblo (wong cilik) yang mengganggu stabilitas sosial yang diperlukan untuk kepastian keamanan proses akumulasi kapital. Karena sifatnya yang ”komprador”, hampir mustahil mengharapkan pemerintah/negara dan kelompok kapitalis lokal untuk keluar dari ”siklus ketergantungan”.
Yang di luar ramalan teoritisi dependensi adalah realiti empirik yang kemudian hadir, bahwa setelah runtuhnya rezim-rezim otoriter di banyak negara di Amerika Latin ternyata proses pembangunan yang bersifat dependensi masih terjadi. Secara umum pemerintah beraliran neo-liberal mendominasi Amerika sampai akhir 1990-an. Rezim neoliberal yang berhasil memproleh kuasa politik pada 1990-1n adalah Alberto Fujimori di Peru dan Carlos Menem di Argentina (keduanya terpilih kembali melalui pemilu), Ernesto Zedillo di Mexico, Rafael Cardera di Venezuela, Ganzalo Sanchez di Bolivia dan Fernando Henrique Cardoso di Brazil.
Bahkan Fernando enrique Cardoso, ketika menjadi menteri keuangan dan presiden Brazil di tahun 1990-an telah mengkhianati tesisnya sendiri dan menjadi penganjur neo-liberalisme yang tidak tahu malu. Padahal dalam tulisan-tulisannya, Cardoso menunjukkan ketidakpercayaan dan skeptisme yang luar biasa terhadap jalan kapitalisme dan ”pembangunan yang bergantung” (dependent development) sebagai jalan mustahil untuk mewujudkan keadilan dan keberhasilan pembangunan. ”Hukuman” untuk Cardoso terlihat dari memburuknya keadaan sosial ekonomi Brazil, di mana pengangguran meningkat 39 persen dari pertengahan 1995 (saat ia terpilih) ke pertengahan 1996. Tahun 1996 popularitas Cardoso menurun dari 68 persen menjadi 25 persen,
Krisis ekonomi di penghujung abad XXI menyadarkan banyak pihak di Amerika Latin tentang kepalsuan janji neoliberalisme. Di sisi eksternal, pemerintah-pemerintah neoliberal itu telah mengantarkan negeri-negeri yang dipimpinnya kepada ketergantungan yang ekstrem pada IMF, Bank Dunia dan modal asing. Di sisi internal, kondisi kesejahteraan rakyat, terutama kalangan bawah, makin memburuk. Para pemimpin gerakan sosial yang terjun di politik seperti Evo Morales justru populer karena tujuan-tujuan pembangunan yang ditawarkannya jelas-jelas berbasis kalangan bawah. Kalangan buruh, petani dan kelompok pinggiran telah memberikan hukuman kepada para pengusung neoliberalisme dengan menjatuhkan mereka dari kekuasaan dan menyerahkan kekuasaan politik kepada para pemimpin populis yang anti-neoliberal. Dengan berbagai variasinya, ”pergeseran ke kiri” terjadi di Venezuela, Brazil, Argentina, Chili, Bolivia, Uruguay dan Equador.
Menuju perimbangan internasional yang baru?
Ketidakpercayaan kepada AS, IMF dan neoliberalisme sesungguhnya tidak semata terjadi di Amerika Latin. Krisis Asia 1997-1998 memberikan pukulan yang cukup telak kepada IMF dan neoliberalisme global. Orang semakin meyakini bahwa penyebab crisis itu yang utama bukanlah karena vulnerability ekonomi negara-negara Asia seperti digembar-gemborkan kalangan ekonom ortodoks, tetapi karena liberalisasi modal dan pasar yang secara prematur dilakukan, sebagai pelaksanaan kebijakan neoliberalisme.
Pendirian IMF sesungguhnya didasarkan pada prinsip Keynesian tentang pentingnya stabilitas moneter global dan ditujukan bagi suatu global collective action untuk mendorong demand dalam ekonomi menuju full employment. Sehingga sebenarnya Keynes menyediakan analisis untuk mengatasi kegagalan pasar dengan menganjurkan kebijakan-kebijakan yang bersifat ekspansioner.
Stiglitz dengan terbuka menyatakan bahwa IMF telah bergeser dari tugas melayani kepentingan ekonomi global lepada tugas pelayanan terhadap para aktor keuangan global. Liberalisasi pasar modal tidaklah mendorong stabilitas ekonomi global, tetapi membuka perluasan pasar bagi “Wall Street”. Stiglitz juga membuktikan bahwa banyak personil kunci dari IMF yang berasal dari comunitas finansial. Contohnya hádala Stanley Fischer, yang pernah duduk sebagai Deputy Managing Director IMF, yang ditarik langsung dari Citigroup yang menguasai Citibank.
Tidak heran bahwa program-program IMF justru menyediakan utangan kepada pemerintah yang terlanda crisis dalam rangka pengembalian utangnya yang terdahulu kepada para kreditor. Akibatnya, para kreditor yang mengantisipasi jaminan IMF justru tidak lagi memandang bahwa sector swasta yang berhutanglah yang harus membayar. Ini terjadi di Rusia, Thailand dan Indonesia. Akibatnya, pemberi pinjaman justru didorong untuk selalu berani terus memberikan utang, dan bukan melakukan prinsip “screening” yang hati-hati dalam memberikan pinjaman (Stiglitz, 2001).
Terdapat dua factor yang makin diperhitungkan setelah terjadinya Crisis Asia: ketidakstabilan sistem ekonomi dan finansial global dan cara “tidak benar” yang dilakukan IMF dalam menghandle crisis itu. Pada puncak Crisis Asia, Jepang telah mengajukan proposal pembentukan Asian Monetary Fund (AMF), sebagai semacam “IMF regional”, dengan menawarkan dana 100 juta dollar AS. AS dan IMF jelas melakukan segala cara untuk menghentikan rencana ini.
AS berhasil, namun ketidakpercayaan terhadap IMF dan ketidakpastian fluktuasi finansial global melahirkan Chiang Mai Initiative, sebuah aransemen kerjasama regional baru yang dibuat oleh ASEAN, Jepang, China dan Korea Selatan, yang ditujukan untuk memperkuat ketahanan setiap negara di kawasan ini terhadap serangan crisis finiansial. Kerjasama yang paling kongkrit adalah dalam hal saling membantu memperkuat cadangan devisa di saat tanda-tanda crisis mulai tampak. Dalam beberapa kesempatan, pemerintah China bahkan mengisyaratkan bahwa penggunaan dollar sebagai cadangan devisa dapat saja ditinjau ulang kalau dipandang tidak menguntungkan. Ini tampaknya merupakan refleksi dari perdebatan intelectual Asia dalam tahun-tahun terakhir, untuk menerapkan sistem “basket currency”. Artinya, cadangan devisa jangan hanya disediakan dalam dollar AS, karena perubahan dalam ekonomi AS dan gerakan-gerakan tak derduga dari fluktuasi dalam sistem finansial global dapat menggoyangkan ekonomi nasional. Don’t put your eggs in one basket.
Banyak negara mulai belajar dari kekuatan mata uang Euro, yang secara kongkrit memperkuat kawasan Eropa dari serangan spekulator dan fluktuasi dalam sistem finansial global. Kemunculan Euro yang kuat harus diakui sampai batas tertentu telah menggoyahkan dominasi dollar AS. Meskipun Uni Eropa masih berhadapan dengan banyak masalah seperti pertumbuhan yang rendah, pengangguran dan crisis konstitusional, kemunculan Euro sebagai mata uang yang kuat jelas merupakan poin positip bagi para anggotanya.
Sejak Juni 2006 pemerintah Iran mulai memberlakukan penggunaan Euro sebagai pengganti Dollar untuk ekspor minyaknya. Iran yang menyimpan cadangan minyak nomer dua di dunia memang bermusuhan dengan AS, terutama sejak naiknya Ahmadinejad. Ekspor Iran ditujukan terutama ke China, Italia, Jepang dan Jerman. Sebagai dampak kebijakan Iran ini permintaan akan Euro jelas akan naik, dan permintaan akan dollar AS akan turun. Konkritnya, karena keputusan Iran ini Italia dan Jerman mulai mengurangi cadangan devisanya dalam dollar AS. Iran juga berencana membuka bursa minyak (Iranian Oil Burst) yang hanya melayani mata uang selain dollar.
Di sisi lain, pemerintah Rusia di bawah Vladimir Putin mulai menunjukkan peningkatan nasionalisme terhadap Barat/AS. Dalam berbagai kesempatan Rusia telah mengekspresikan ketidaksenangannya terhadap langkah-langkah unilaterlaisme AS yang jumawa dan dipandang menyudutkan posisi geopolitik Rusia. Naiknya harga minyak, yang berlipat tiga sejak 1999, telah memperkuat kembali ekonomi Rusia. Permintaan yang meroket, secara khusus disebabkan oleh kemunculan China dan India, dan absennya penemuan baru sumber minyak dan gas, telah pula menaikkan posisi Rusia yang memiliki deposit gas terbesar di dunia.
Presiden Vladimir Putin tampaknya secara jelas melihat sumber energi sebagai sebuah instrumen untuk mendapatkan kembali global power yang hilang sejak runtuhnya Uni Soviet. Karenanya Putin memperketat kontrol atas penguasaan minyak dan makin membatasi keterlibatan perusahaan minyak asing. Langkah ini ditopang oleh resentralisasi kontrol politik yang dilakukan oleh Putin, yang terbukti populer di kalangan publik. Dengan bermodal penghasilan dari minyak, Rusia kini memiliki tingkat independensi yang lebih kuat terhadap AS dan IMF. Jalan neoliberalisme juga kian tidak populer di Rusia.
Catatan Ke Depan
Ke depan, kontrol atas energi akan memainkan peranan penting dalam politik internasional abad ini dan selanjutnya. Bolivia dapat memainkan peran begitu sentral dalam gerakan antineoliberalisme di Amerika Latin karena dua faktor. Pertama, akar domestik yang kuat karena dukungan masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah yang semula menjadi korban dari kebijakan-kebijakan neoliberalisme rezim-rezim sebelumnya. Kedua, pemilikan ”basis material” yang berasal dari kenaikan income yang didapat dari kenaikan harga minyak.
Secara global, secara ekonomi, hegemoni AS sebenarnya telah mengalami penurunan sejak 1980-an, karena biaya Perang Dingin yang terlalu besar yang telah dibelanjakannya. Konsentrasi AS ke Irak, Iran, dan isu terorisme global sebenarnya banyak diarahkan untuk kepentingan pengamanan sumber minyak dan pemuasan hasrat korporat perminyakan global untuk memperluas akumulasi modalnya.
Hegemoni AS yang tersisa adalah di bidang budaya dan moneter. Karena itulah, AS begitu bersemangat dalam menekan Iran, yang sejak tahun lalu secara terang-terangan tidak lagi menggunakan dollar AS sebagai basis transaksi minyaknya. Dari perspektif ini pula serangan AS kepada Irak tahun 2002 dapat dimaknai, karena Saddam Hussein –lebih dulu dari Iran– telah memutuskan penggunaan mata uang Euro untuk alat transaksi minyaknya.
Kontrol atas sumber energi, dimanapun, adalah hal yang niscaya untuk memperkuat ketahanan dan kedaulatan ekonomi bangsa. Sayang, di negeri ini kontrol atas sumber energi dan kekayaan alam telah hampir sepenuhnya diserahkan kepada korporat-korporat asing. Harapan untuk bertransformasi dari “bangsa kutilang” ke “bangsa rajawali” tidak akan pernah terjadi, selama kita berada di bawah kepemimpinan yang lemah dan nyaris tanpa visi.
0 komentar:
Posting Komentar