Breaking News
Loading...
Minggu, 09 Mei 2010

Sistem Politik Inggris Ternyata Menyimpan Kelemahan

London (ANTARA News) - Pengamat politik Syahrul Hidayat yang juga kandidat Doktor Universitas Exeter, Inggris, menilai hasil Pemilu Inggris tahun ini menggambarkan sistem politik di negara itu memiliki beberapa kelemahan yang selama ini kurang diperhatikan serius.

Kepada koresponden Antara London, Minggu, mantan Ketua Pengawas Pemilu di Inggris dan Irlandia itu menyebut sistem "first past the post" berbasiskan konstituen yang dianut sekarang membuat sistem politik mengarah kepada dwipartai.

Syahrul mengatakan sistem politik Inggris selalu menghasilkan dua partai yang bergantian berkuasa, yaitu Partai konservatif dan Partai Buruh.

"Tak banyak peluang yang bisa diraih oleh partai di luar keduanya untuk memenangkan konstituensi dan melenggang ke parlemen di Westminster," ujar pengajar FISIP UI itu.

Menurutnya, hanya partai yang memiliki reputasi panjang dan luas yang mampu membangun jaringan di pelosok negeri yang memberikan harapan mengubah kebijakan di Westminster.

"Kegagalan Partai Liberal Demokrat untuk mengirim wakil, pertanda dua partai (konservatif dan buruh) tersebut masih sulit untuk diganggu dan membuat sistem politik Inggris hanya terpaku pada keduanya," ujarnya.

Kegagalan Partai Liberal Demokrat itu juga menandai keterwakilan pemilih yang kurang seimbang, di mana jumlah pemilih partai itu secara nasional bisa mencapai 23 persen namun hanya diwakili nyata di Westminster oleh 57 wakilnya atau tak mencapai 10 persen dari total 650 kursi di Parlemen.

Sementara Partai Konservatif yang hanya meraih 37 persen suara secara total justru menguasai 47 persen kursi parlemen.

"Sebenarnya tidak menjadi masalah jika partai-partai tersebut terbiasa melakukan koalisi. Walaupun telah menjadi suatu ketentuan yang memungkinkan, toh tradisi politik Inggris tak terbiasa dengan tradisi koalisi," kata Syahrul yang mengkaji Manajemen Dampak Moderasi Partai-partai Politik di Turki dan Indonesia di Universitas Exeter.

Inggris hanya mengenal sejarah koalisi pada 1974 dan itu pun berakhir dengan kegagalan yang memaksa diadakannya pemilu ulang beberapa bulan kemudian hanya untuk menanyai rakyat: siapa yang pantas membentuk pemerintahan dan menjadi perdana menteri.

"Tradisi ini seolah-olah berkata bahwa mereka yang tidak memperoleh kursi mayoritas tidaklah pantas memimpin negara itu," ujarnya .

Ia mengatakan, saat ini terjadi dimana Partai Konservatif yang memenangkan kursi terbanyak diputuskan belum mendapat mandat penuh dari rakyat untuk menjadi perdana menteri.

Nampaknya, menurut dia, yang membuat parlemen menjadi menggantung (hung parliament) bukanlah komposisi yang dihasilkan dalam pemilu kali ini namun sistem itu sendiri yang memberikan peluang terjadinya situasi itu.

Syahrul mengatakan yang perlu dibiasakan nampaknya adalah melakukan negosiasi platform politik.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer
Obrolan