PERINGATAN Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas tahun 2010, Minggu (2/5), diwarnai dengan keprihatinan. Persoalannya, tingkat kelulusan ujian secara nasional untuk tingkat sekolah menengah atas (SMA) dan madrasah aliyah (MA), mengalami penurunan sebesar 4 persen.
Pada tahun 2009, tingkat kelulusan 93,74 persen. Tahun 2010, turun menjadi 89,88 persen. Yang memprihatinkan lagi, sebanyak 267 sekolah memperoleh kelulusan 0 persen alias tak ada siswa yang lulus. Begitu pula, amuk siswa yang tidak lulus dengan menghancurkan fasilitas-fasilitas sekolah.
Kenyataan yang jauh dari harapan Raden Mas Soewardi Suryaningrat, atau Ki Hadjar Dewantara, yang lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Ia merupakan Bapak Pendidikan Nasional dan seorang pendiri Perguruan Nasional Tamansiswa. Harapannya, bangsa Indonesia memiliki pemikiran dasar pendidikan untuk memajukan bangsa, tanpa membedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, atau status sosial.
Sayang, sampai saat ini, berbagai masalah masih menghantui dunia pendidikan. Lembaga persekolahan yang menjadi tumpuan untuk mendidik sumber daya manusia berkualitas, tertinggal. Kontroversi pemberlakuan ujian nasional terus berkepanjangan. Tindak kekerasan guru terhadap murid menghiasai media massa.
Padahal, perubahan global yang pesat menuntut sumber daya manusia cerdas secara intelektual, emosional, spiritual, serta peduli terhadap persoalan lingkungan sekitar. Pendidikan yang seharusnya menjadi jalan dan prioritas terpenting untuk memajukan warga negara Indonesia.
Pendidikan belum keluar dari paradigma lama yang menempatkan siswa sebagai obyek pendidikan. Praktik pendidikan di sekolah sering menimbulkan banyak ironi. Penekanan pendidikan belum membekali siswa menjadi manusia yang berkembang dalam multi-intelegensia.
Memang, pemerintah mengklaim, dalam lima tahun terakhir, sejak pemberlakuan ujian nasional pada tahun 2004, terjadi peningkatan mutu yang signifikan. Data statistik departemen pendidikan nasional memperlihatkan, nilai rata-rata ujian nasional naik dari rata-rata 5,5 menjadi 7,3.
Itu sebabnya, pelaksanaan ujian nasional terus dipertahankan. Padahal, sejumlah pakar pendidikan menilai kebijakan tersebut kontroversial. Masalahnya, pemerintah belum melaksanakan kewajibannya dalam pemerataan mutu guru, sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi di seluruh sekolah Indonesia.
Kebijakan penyeragaman standar kelulusan yang tergambar dalam ujian nasional adalah kebijakan diskriminatif. Walaupun perbedaan kondisi yang amat mencolok antara desa dan kota, upaya menyukseskan ujian nasional tetap menjadi prioritas utama sekolah. Motto ujian nasional 2010, Prestasi dan Kejujuran.
Pada satu sisi, motto tersebut bias terpenuhi. Tetapi, bagi sekolah-sekolah lain, motto itu hanya slogan belaka. Kejadian yang menodai kejujuran masih terjadi. Adapun prestasi, hasilnya sudah jelas, tingkat kelulusan menurun.
Dalam kaitan dengan kualitas pendidikan, kiranya Peringatan Hardiknas 2010 dapat menjadi momentum yang tepat untuk merenungkan berbagai persoalan dalam sistem pendidikan nasional. Belajar dari perjalanan sejarah, bangsa-bangsa yang maju memulai pembangunan dengan mendudukkan pendidikan sebagai prioritas pertama. ***
Home
»
»Unlabelled
» Kualitas Pendidikan
Kualitas Pendidikan
17.55
0 komentar:
Posting Komentar