Breaking News
Loading...
Selasa, 13 April 2010

Belajar dari Kasus Gayus

Ismadi, pegawai di salah satu kementerian, berujar, hanya wajah Gayus Tambunan yang terbayang saat mengisi  surat pemberitahuan (SPT) pajaknya. Itu ungkapan seorang wajib pajak yang memendam kekecewaan atas pengelolaan uang rakyat melalui setoran pajak, tetapi digelapkan makelar kasus.

Kasus Gayus menyadarkan publik bahwa ternyata ada yang salah dalam penanganan pajak selama ini. Kesalahan rupanya masih terjadi pada saat reformasi birokrasi tengah diperjuangkan.

”Setelah reformasi pun masih ada pengusaha yang ’dihantam’ (dipaksa) membayar pajak 1.000, padahal tagihannya hanya 100. Dengan cara ini, makelar pajak bisa menggiring kami untuk negosiasi dengan mereka,” ungkap Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi.

Bagaimana aparat pajak bisa begitu kuat? Sebab, dari hulu hingga hilir, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak memegang kekuasaan hukum atas wajib pajak. Dia yang membuat aturan, mengimplementasikannya, sekaligus menindak wajib pajak yang berani melanggar aturan itu.

Jika wajib pajak membayar pajak dengan mendapatkan tekanan seperti itu, ujung-ujungnya hanya satu, yakni hilangnya kepercayaan. Jika kepercayaan hilang, dikhawatirkan kejujuran wajib pajak pun akan sirna.

Padahal, kejujuran adalah tulang punggung sistem perpajakan yang dianut Indonesia, yakni self assessment (wajib pajak diberi kebebasan menyampaikan laporan pajak secara sukarela). ”Kami masih dianggap bandit, tetapi uang yang kami bayar justru dibawa lari gayus-gayus itu,” tutur Sofjan.

Dengan kekuatan Ditjen Pajak seperti itu, para pengusaha ragu akan kemampuan Komite Pengawas Perpajakan (KPP) untuk menjadi jalan keluar bagi wajib pajak yang teraniaya. Atas dasar itulah, sekitar 200 pengusaha besar dan kecil meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membentuk tim kecil gabungan (pengusaha dan pejabat Kementerian Keuangan) dengan tugas menghimpun kenakalan petugas pajak.

Tim gabungan ini diharapkan akan mengembalikan kepercayaan antara Ditjen Pajak dan wajib pajak yang menurun pascakasus Gayus. Temuan tim diharapkan akan mengembalikan hak dan kewajiban wajib pajak di tempat yang seharusnya.

Tidak mudah
Kerja tim gabungan ini tidak akan mudah. Jika bercermin pada pengalaman Amerika Serikat, butuh 20 tahun untuk mengumpulkan apa yang menjadi hak-hak wajib pajak. Itu termasuk masa dengar pendapat dari seluruh pemangku kepentingan antara tahun 1981-1998.

Pengamat pajak Universitas Indonesia, Darussalam, menegaskan, jika negara ingin publik membayar pajak secara sukarela dan jujur, penuhi dulu hak-haknya sebagai wajib pajak. Setelah terpenuhi, kewajiban yang dituntut oleh pemerintah pasti akan dipenuhi wajib pajak.

Namun, coba lihat di situs Ditjen Pajak. Wajib pajak dituntut nurut ketimbang menikmati manfaat pajaknya.

Saat membuka bagian yang mengungkap hak dan kewajiban wajib pajak, kewajiban dulu yang ditempatkan di atas, baru kemudian haknya. Yang jelas, butuh lima halaman untuk memaparkan hak wajib pajak, sedangkan untuk kewajibannya butuh enam halaman.

Padahal, Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) sudah menegaskan enam hak dasar wajib pajak dan hanya lima kewajiban wajib pajak. Hak wajib pajak adalah hak mendapatkan informasi, didampingi, dan didengar keluhannya. Lalu, berhak naik banding, berhak membayar pajak tidak lebih dari yang seharusnya, dan berhak mendapatkan kepastian hukum.

Hak lainnya adalah memperoleh jaminan tidak diganggu hak-hak pribadinya. Kemudian hak atas kerahasiaan identitas pribadinya.

Jika hak-hak itu sudah terpenuhi secara bulat, barulah pemerintah dapat berharap semua kewajiban wajib pajak dipenuhi. Kewajiban wajib pajak adalah kewajiban berkata jujur, bekerja sama secara positif, wajib menyediakan data secara akurat dan tepat waktu, wajib menyimpan data, serta wajib membayar pajak tepat waktu.

Mengapa hak wajib pajak harus didahulukan? Sebab, ingatlah pesan John Marshall (24 September 1755-6 Juli 1835), seorang pengacara, pembentuk opini Amerika Serikat pada masanya, dan legislator, kekuasaan untuk menarik pajak pada negara itu diiringi kekuasaan untuk merusak. Sebab, bagaimanapun, pungutan pajak adalah setoran yang dipaksakan.

Pemicu perang

Dalam sejarah Amerika, pajak adalah pemicu perang dengan Kolonial Inggris. Slogan yang termasyhur saat itu adalah no taxation without representation, tidak ada pungutan pajak tanpa persetujuan wakil rakyat, yang tidak lain adalah wajib pajak.

Jika kini wajib pajak merasa terjepit dan meminta jalan pintas dengan membentuk tim gabungan, itu artinya ada hambatan yang membuat hak wajib pajak tidak terdistribusi. Padahal, sikap sukarela wajib pajak adalah akar dari tumbuhnya penerimaan pajak.

Seperti ungkapan Richard Ebeling dalam bukunya, The Freeman: Ideas in Liberty, sejauh publik bersedia memberikan hak kepada pemerintah untuk memajaki dan mengatur dananya bagi kemakmuran rakyat, publik akan terus bertahan dan mendukung. Namun, jika kekuatan memajaki disalahgunakan, pendapat Michael S Rozeff perlu direnungkan.

Rozeff adalah Guru Besar Bidang Keuangan dan Ekonomi Manajerial the University at Buffalo (Perguruan tinggi negeri di New York). Rozeff berujar, jika aturan digunakan untuk mengganggu wajib pajak, sebaiknya akhiri saja kekuasaan untuk memajaki oleh pemerintah.

Tentunya bukan ini akhir yang diinginkan Indonesia sebab 70 persen penerimaan APBN berasal dari pajak. Selain itu, pajaklah yang diharapkan menjadi sumber penerimaan pengganti utang. Apalagi, wajib pajak aktif belum sampai 15 juta orang.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer
Obrolan