PERSOALAN kerukunan umat beragama senantiasa perlu terus-menerus disosialisasikan. Karena, tak dapat dipungkiri banyak konflik antarumat beragama dan intern umat beragama di Indonesia pada kenyataannya masih terus berlangsung hingga hari ini.
Kerukunan umat beragama sangat kita perlukan, agar kita semua bisa menjalani kehidupan beragama dan bermasyarakat di bumi Indonesia ini dengan damai, sejahtera, dan jauh dari kecurigaan kepada kelompok-kelompok lain. Dengan begitu, agenda-agenda kemanusiaan yang seharusnya dilakukan dengan kerja sama antaragama, seperti memberantas kemiskinan, memerangi kebodohan, mencegah korupsi, membentuk pemerintahan yang bersih, serta memajukan bangsa, dapat segera dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Agenda-agenda tersebut, jelas tidak dapat dilaksanakan dengan optimal, jika masalah kerukunan umat beragama belum terselesaikan. Fakta menjelaskan meskipun setiap agama mengajarkan tentang kedamaian dan keselarasan hidup, realitas menunjukkan pluralisme agama bisa memicu pemeluknya saling berbenturan dan bahkan terjadi konflik. Konflik jenis ini dapat mempunyai dampak yang amat mendalam dan cenderung meluas. Bahkan implikasinya bisa sangat besar sehingga berisiko sosial, politik maupun ekonomi yang besar pula. Ia telah sedikit menampakkan wajah garangnya di daerah Maluku/Ambon dan Poso beberapa tahun lalu. Konflik di wilayah tersebut bukan saja menyebabkan kerugian secara material tapi mempunyai dampak sosial yang sangat panjang.
Dalam hal ini, pengertian konflik agama tidak saja terjadi antar agama yang berbeda atau yang yang dikenal dengan istilah konflik antaragama tetapi sering terjadi konflik antara umat dalam satu agama atau konflik intra agama. Munculnya berbagai kasus terkait dengan persoalan keagamaan, yang dipicu oleh beberapa hal antara lain: Pertama, pelecehan/penodaan agama melalui penggunaan simbol-simbol, maupun istilah-istilah keagamaan dari suatu agama oleh pihak lain secara tidak bertanggung jawab. Kedua, fanatisme agama yang sempit.
Fanatisme yang dimaksud adalah suatu sikap yang mau menang sendiri serta mengabaikan kehadiran umat beragama lainnya yang memiliki cara/ritual ibadah dan paham agama yang berbeda. Dan yang ketiga adalah adanya diskomunikasi dan miskomunikasi antar umat beragama. Konflik dapat terjadi karena adanya miskomunikasi (salah paham) dan dikomunikasi (pembodohan yang disengaja).
Secara historis, politis, dan sosiologis, Indonesia punya modal sangat kuat dalam menangani atau meredam konflik tersebut. Kita bisa menengok kembali sejarah pembentukan dan perjuangan Kemerdekaan bangsa ini. Bangsa Indonesia yang beratus-ratus tahun dijajah Belanda, serta Jepang, berhasil merdeka berkat kerja sama erat dan saling bahu-membahu para pendiri bangsa yang berbeda agama. Penghapusan Piagam Jakarta dan kata-kata Kewajiban menerapkan syariat Islam bagi para pemeluknya, merupakan bentuk kompromi politik dari Bapak Bangsa untuk menjamin agar tidak ada superioritas antarsatu agama di atas agama lain dan demi terjaganya kerukunan umat beragama di Indonesia. Bahkan, Pancasila dan slogan Bhinneka Tunggal Ika juga menjadi visi, misi, dan panduan yang memberikan pedoman tentang pentingnya kerukunan umat beragama untuk bangsa ini pada masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
Dialog intern umat beragama juga merupakan bagian tidak terpisahkan dari kerukunan kehidupan umat beragama, yang pada dasarnya merupakan upaya mempertemukan hati dan pikiran di kalangan sesama penganut agama, baik sesama umat Islam maupun dengan umat beragama lainnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara kasatmata pemimpin agama berperan penting merancang dan melaksanakan dialog intern umat beragama, antarumat beragama, dan antara umat beragama dan pemerintah. Baik dari kalangan pemuka agama Islam; ulama, cendekiawan Muslim, mubaligh, dai, dan kiai maupun pemimpin kelompok keagamaan dari kalangan penganut dan pemimpin agama Kristen/Katolik, Hindu, maupun Buddha.
Dalam penyosialisasian, pendiseminasian, penegakan, dan penyuburan kerukunan umat beragama ini, sebetulnya pemerintah melalui Departemen Agama menduduki posisi yang penting dan sangat menentukan. Sebagai departemen yang diberi tugas mengatur dan menangani persoalan serta urusan keagamaan bagi seluruh rakyat Indonesia, tentunya Depag harus terus membuka mata dan memperhatikan masalah-masalah kehidupan umat beragama, baik yang berskala kecil maupun besar. Problem itu, tentunya sangat berkaitan dengan relasi umat agama di Indonesia yang terdiri atas multiagama, multiorganisasi, multiperspektif.
Sudah banyak kebijakan pemerintah mengatur pembinaan kerukunan hidup umat beragama; baik mengenai kebijaksanaan penyiaran agama, pendirian dan penggunaan rumah ibadah, upacara hari besar keagamaan, hubungan antaragama dalam bidang pendidikan, perkawinan, penguburan jenazah, dan wadah musyawarah antarumat beragama.
Pemerintah sejak 1970-an sudah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan persoalan kerukunan umat beragama di Indonesia. Menteri Agama Mukti Ali memperkenalkan pentingnya dialog antaragama dan ilmu perbandingan agama yang diajarkan sebagai mata kuliah di berbagai perguruan tinggi. Kedua hal itu penting, sebagai bentuk penyiapan kader-kader dan sumber daya manusia yang siap menghadapi tantangan konflik antara agama dan pemikiran yang terbuka, berwawasan luas, serta mendahulukan solusi kebersamaan demi masa depan Indonesia.
Upaya ini dilanjutkan Menteri Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara yang menyosialisasikan pentingnya trilogi kerukunan umat beragama. Pertama, kerukunan antarumat beragama, yaitu kerukunan dan saling menghormati di antara pemeluk berbagai agama. Kedua, kerukunan intern umat beragama, yaitu kerukunan di antara golongan-golongan dalam satu agama tertentu. Ketiga, kerukunan di antara semua kelompok keagamaan dan pemerintah.
Yang juga penting adalah bagaimana agar kerukunan umat beragama itu tidak terus bersifat top-down, elitis, dan berhenti pada dialog formal dan seremonial saja. Kerukunan umat beragama memang harus didorong dan diberikan motivasi oleh pemerintah, juga hendaknya diupayakan penyediaan fasilitas untuk mendukung itu. Akan tetapi, para pemuka agama harus juga berinisiatif agar kesadaran ini terus tersebar dalam level grassroots dan menjadi bagian dari pentingnya menjaga keharmonisan dan persatuan bangsa.
Misalnya, pemberdayaan kelembagaan Islam untuk meningkatkan kualitas kerukunan kehidupan umat beragama perlu diprogramkan terencana dan berkelanjutan, yang diawali pendataan potensi konflik keagamaan, pelatihan penyuluh agama untuk penanganan daerah berpotensi konflik, dan sosialisasi manajemen kelembagaan agama yang difokuskan kepada memperkenalkan konsep dan kedudukan kerukunan umat beragama dalam kerangka persatuan dan kesatuan bangsa di berbagai daerah kabupaten maupun kota.
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibentuk pemerintah pada setiap provinis, kabupaten, dan kota perlu dioptimalkan dan diluruskan. Karena dalam kenyataannya, badan ini menjelma acap menjadi pengawas berdirinya rumah ibadah. Selain wewenangnya, efek ikutannya juga patut diawasi. Karena birokratisasi perukunan agama-umat dirukunkan secara resmi melalui alat-alat negara- justru melahirkan ketidakrukunan baru. Ini, antara lain, bisa dilihat dari betapa marak-nya perusakan tempat ibadah justru ketika FKUB sudah terbentuk di mana-mana. Tugas utama FKUB seperti termuat dalam Perber pasal 9, yaitu melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat.
Dengan demikian di masa datang, pemerintahan harus terus memperhatikan problem relasi antaragama itu. Pemerintah harus mewujudkan kerukunan yang sesungguhnya, serta mengantisipasi pelbagai macam dampak negatif dari konflik antaragama. Segala motif dan indikasi yang bisa menyulut konflik harus diantisipasi sedini dan sebaik mungkin. Pemerintah perlu juga melakukan pendataan yang serius dan komprehensif tentang peta, analisis, keberhasilan, serta evaluasi kegagalan program kerukunan umat beragama ini.
Agar kerukunan umat beragama ini menjadi bagian dari program yang berkelanjutan dan dapat dievaluasi setiap saat, diperlukan juga database yang menyediakan data lengkap tentang perjalanan kerukunan umat beragama di Indonesia.
Pemerintah juga harus mencanangkan program dialog kultural di antara pelbagai komunitas agama. Dialog tidak dalam kerangka perjumpaan-perjumpaan yang bersifat formal, sebagaimana yang rutin selama ini, melainkan dalam kerangka menyelesaikan pelbagai persoalan bangsa dan persoalan keagaaman secara khusus Pemerintah memfasilitasi pertemuan antaragama dan mendorong terwujudnya relasi yang rukun, adil, dan setara.
Satu hal yang penting adalah pemerintah harus memperhatikan masalah keadilan dan kesejahteraan sosial. Sebab hakikatnya, akar konflik dan ketegangan antaragama muncul karena ketidakadilan dan kemiskinan yang merajalela kalangan agamawan. Pemerintahan harus bekerja keras untuk meningkatkan ekonomi yang berorientasi kerakyatan serta penegakan hukum yang seadil-adilnya. Bila itu semua terpenuhi, kesadaran primordial bangsa ini atas pluralisme berangsur-angsur akan mengalami eskalasi ke bangunan sosial yang rukun, adil, dan damai. (litbang pelita)
Kerukunan umat beragama sangat kita perlukan, agar kita semua bisa menjalani kehidupan beragama dan bermasyarakat di bumi Indonesia ini dengan damai, sejahtera, dan jauh dari kecurigaan kepada kelompok-kelompok lain. Dengan begitu, agenda-agenda kemanusiaan yang seharusnya dilakukan dengan kerja sama antaragama, seperti memberantas kemiskinan, memerangi kebodohan, mencegah korupsi, membentuk pemerintahan yang bersih, serta memajukan bangsa, dapat segera dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Agenda-agenda tersebut, jelas tidak dapat dilaksanakan dengan optimal, jika masalah kerukunan umat beragama belum terselesaikan. Fakta menjelaskan meskipun setiap agama mengajarkan tentang kedamaian dan keselarasan hidup, realitas menunjukkan pluralisme agama bisa memicu pemeluknya saling berbenturan dan bahkan terjadi konflik. Konflik jenis ini dapat mempunyai dampak yang amat mendalam dan cenderung meluas. Bahkan implikasinya bisa sangat besar sehingga berisiko sosial, politik maupun ekonomi yang besar pula. Ia telah sedikit menampakkan wajah garangnya di daerah Maluku/Ambon dan Poso beberapa tahun lalu. Konflik di wilayah tersebut bukan saja menyebabkan kerugian secara material tapi mempunyai dampak sosial yang sangat panjang.
Dalam hal ini, pengertian konflik agama tidak saja terjadi antar agama yang berbeda atau yang yang dikenal dengan istilah konflik antaragama tetapi sering terjadi konflik antara umat dalam satu agama atau konflik intra agama. Munculnya berbagai kasus terkait dengan persoalan keagamaan, yang dipicu oleh beberapa hal antara lain: Pertama, pelecehan/penodaan agama melalui penggunaan simbol-simbol, maupun istilah-istilah keagamaan dari suatu agama oleh pihak lain secara tidak bertanggung jawab. Kedua, fanatisme agama yang sempit.
Fanatisme yang dimaksud adalah suatu sikap yang mau menang sendiri serta mengabaikan kehadiran umat beragama lainnya yang memiliki cara/ritual ibadah dan paham agama yang berbeda. Dan yang ketiga adalah adanya diskomunikasi dan miskomunikasi antar umat beragama. Konflik dapat terjadi karena adanya miskomunikasi (salah paham) dan dikomunikasi (pembodohan yang disengaja).
Secara historis, politis, dan sosiologis, Indonesia punya modal sangat kuat dalam menangani atau meredam konflik tersebut. Kita bisa menengok kembali sejarah pembentukan dan perjuangan Kemerdekaan bangsa ini. Bangsa Indonesia yang beratus-ratus tahun dijajah Belanda, serta Jepang, berhasil merdeka berkat kerja sama erat dan saling bahu-membahu para pendiri bangsa yang berbeda agama. Penghapusan Piagam Jakarta dan kata-kata Kewajiban menerapkan syariat Islam bagi para pemeluknya, merupakan bentuk kompromi politik dari Bapak Bangsa untuk menjamin agar tidak ada superioritas antarsatu agama di atas agama lain dan demi terjaganya kerukunan umat beragama di Indonesia. Bahkan, Pancasila dan slogan Bhinneka Tunggal Ika juga menjadi visi, misi, dan panduan yang memberikan pedoman tentang pentingnya kerukunan umat beragama untuk bangsa ini pada masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
Dialog intern umat beragama juga merupakan bagian tidak terpisahkan dari kerukunan kehidupan umat beragama, yang pada dasarnya merupakan upaya mempertemukan hati dan pikiran di kalangan sesama penganut agama, baik sesama umat Islam maupun dengan umat beragama lainnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara kasatmata pemimpin agama berperan penting merancang dan melaksanakan dialog intern umat beragama, antarumat beragama, dan antara umat beragama dan pemerintah. Baik dari kalangan pemuka agama Islam; ulama, cendekiawan Muslim, mubaligh, dai, dan kiai maupun pemimpin kelompok keagamaan dari kalangan penganut dan pemimpin agama Kristen/Katolik, Hindu, maupun Buddha.
Dalam penyosialisasian, pendiseminasian, penegakan, dan penyuburan kerukunan umat beragama ini, sebetulnya pemerintah melalui Departemen Agama menduduki posisi yang penting dan sangat menentukan. Sebagai departemen yang diberi tugas mengatur dan menangani persoalan serta urusan keagamaan bagi seluruh rakyat Indonesia, tentunya Depag harus terus membuka mata dan memperhatikan masalah-masalah kehidupan umat beragama, baik yang berskala kecil maupun besar. Problem itu, tentunya sangat berkaitan dengan relasi umat agama di Indonesia yang terdiri atas multiagama, multiorganisasi, multiperspektif.
Sudah banyak kebijakan pemerintah mengatur pembinaan kerukunan hidup umat beragama; baik mengenai kebijaksanaan penyiaran agama, pendirian dan penggunaan rumah ibadah, upacara hari besar keagamaan, hubungan antaragama dalam bidang pendidikan, perkawinan, penguburan jenazah, dan wadah musyawarah antarumat beragama.
Pemerintah sejak 1970-an sudah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan persoalan kerukunan umat beragama di Indonesia. Menteri Agama Mukti Ali memperkenalkan pentingnya dialog antaragama dan ilmu perbandingan agama yang diajarkan sebagai mata kuliah di berbagai perguruan tinggi. Kedua hal itu penting, sebagai bentuk penyiapan kader-kader dan sumber daya manusia yang siap menghadapi tantangan konflik antara agama dan pemikiran yang terbuka, berwawasan luas, serta mendahulukan solusi kebersamaan demi masa depan Indonesia.
Upaya ini dilanjutkan Menteri Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara yang menyosialisasikan pentingnya trilogi kerukunan umat beragama. Pertama, kerukunan antarumat beragama, yaitu kerukunan dan saling menghormati di antara pemeluk berbagai agama. Kedua, kerukunan intern umat beragama, yaitu kerukunan di antara golongan-golongan dalam satu agama tertentu. Ketiga, kerukunan di antara semua kelompok keagamaan dan pemerintah.
Yang juga penting adalah bagaimana agar kerukunan umat beragama itu tidak terus bersifat top-down, elitis, dan berhenti pada dialog formal dan seremonial saja. Kerukunan umat beragama memang harus didorong dan diberikan motivasi oleh pemerintah, juga hendaknya diupayakan penyediaan fasilitas untuk mendukung itu. Akan tetapi, para pemuka agama harus juga berinisiatif agar kesadaran ini terus tersebar dalam level grassroots dan menjadi bagian dari pentingnya menjaga keharmonisan dan persatuan bangsa.
Misalnya, pemberdayaan kelembagaan Islam untuk meningkatkan kualitas kerukunan kehidupan umat beragama perlu diprogramkan terencana dan berkelanjutan, yang diawali pendataan potensi konflik keagamaan, pelatihan penyuluh agama untuk penanganan daerah berpotensi konflik, dan sosialisasi manajemen kelembagaan agama yang difokuskan kepada memperkenalkan konsep dan kedudukan kerukunan umat beragama dalam kerangka persatuan dan kesatuan bangsa di berbagai daerah kabupaten maupun kota.
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibentuk pemerintah pada setiap provinis, kabupaten, dan kota perlu dioptimalkan dan diluruskan. Karena dalam kenyataannya, badan ini menjelma acap menjadi pengawas berdirinya rumah ibadah. Selain wewenangnya, efek ikutannya juga patut diawasi. Karena birokratisasi perukunan agama-umat dirukunkan secara resmi melalui alat-alat negara- justru melahirkan ketidakrukunan baru. Ini, antara lain, bisa dilihat dari betapa marak-nya perusakan tempat ibadah justru ketika FKUB sudah terbentuk di mana-mana. Tugas utama FKUB seperti termuat dalam Perber pasal 9, yaitu melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat.
Dengan demikian di masa datang, pemerintahan harus terus memperhatikan problem relasi antaragama itu. Pemerintah harus mewujudkan kerukunan yang sesungguhnya, serta mengantisipasi pelbagai macam dampak negatif dari konflik antaragama. Segala motif dan indikasi yang bisa menyulut konflik harus diantisipasi sedini dan sebaik mungkin. Pemerintah perlu juga melakukan pendataan yang serius dan komprehensif tentang peta, analisis, keberhasilan, serta evaluasi kegagalan program kerukunan umat beragama ini.
Agar kerukunan umat beragama ini menjadi bagian dari program yang berkelanjutan dan dapat dievaluasi setiap saat, diperlukan juga database yang menyediakan data lengkap tentang perjalanan kerukunan umat beragama di Indonesia.
Pemerintah juga harus mencanangkan program dialog kultural di antara pelbagai komunitas agama. Dialog tidak dalam kerangka perjumpaan-perjumpaan yang bersifat formal, sebagaimana yang rutin selama ini, melainkan dalam kerangka menyelesaikan pelbagai persoalan bangsa dan persoalan keagaaman secara khusus Pemerintah memfasilitasi pertemuan antaragama dan mendorong terwujudnya relasi yang rukun, adil, dan setara.
Satu hal yang penting adalah pemerintah harus memperhatikan masalah keadilan dan kesejahteraan sosial. Sebab hakikatnya, akar konflik dan ketegangan antaragama muncul karena ketidakadilan dan kemiskinan yang merajalela kalangan agamawan. Pemerintahan harus bekerja keras untuk meningkatkan ekonomi yang berorientasi kerakyatan serta penegakan hukum yang seadil-adilnya. Bila itu semua terpenuhi, kesadaran primordial bangsa ini atas pluralisme berangsur-angsur akan mengalami eskalasi ke bangunan sosial yang rukun, adil, dan damai. (litbang pelita)
0 komentar:
Posting Komentar